Selasa, 05 Januari 2010

karena ini begitu mengesankan ..

“Bringhardjonya tutup mba ,”

HAH?! Pantas kalau aku kaget mendengar ucapan bapak tukang becak di depanku ini. Pasar Bringharjdo tutup di saat aku sedang sangat membutuhkan sesuatu yang dijual murah disitu—kerudung paris! Dan berhubung weekend pertengahan September ini wisata Paskibra yang ditunggu-tunggu pun jadi ke Jogja, niat kuatku yang ada pada tujuan di Malioboro—lebih tepatnya ya Pasar Bringhardjo—bisa terlaksana. Tapi nyatanya Tuhan berkehendak Lain, kami datang disaat tepat tanggal 17 September 2009. Yah, hari apa itu? Hari jadi Jogja dan hari itu kawasan Malioboro sudah ramai bahkan sejak tadi siang. Selamat Tita!

“Duh.. gimana nih? Tujuan utama kita terhalang, Ta ..”gerutu Desi, temanku yang juga janjian untuk beli kerudung yang memang lagi ngetren saat ini.

“Yaudah kita jalan-jalan disekitar Malioboro aja,”ucapku mencoba bijak. Tapi belum-belum kita melangkah dari parkiran Bus di depan Bank Indonesia(BI) Jogja, suara bapak tukang becak yang sedari tadi menawarkan jasanya untuk kami terdengar lagi.

“Malioboro juga tutup mba, dari tadi pagi palah. Semua kawasan di sini tutup. Kan ada ulang tahun Jogja.”

Huh, kenapa harus hari ini sih? Gerutuku dalam hati. Sabtu, di pertengahan bulan ke sembilan tahun 2009. Hadiah untuk para putra-putri Paskibra Banjarnegara kami terima, yaitu wisata bersama para instruktur dan beberapa orang dari Pemda Banjarnegara. Sebenarnya tujuan utama kami bukan ke kota pendidikan ini, tapi ke Ibu Kota Indonesia. Tapi dikarenakan anggaran yang—katanya—setiap tahun menipis, jadilah kami menuju Jogjakarta, berangkat dengan dua bus rombongan. Sejak tadi pagi kami sampai di Jogja, sudah ada lima atau bahkan cuma tiga tempat wisata kami kunjungi, dan terakhir terdamparlah kami di sini, Malioboro . Kawasan belanja ini mendapat urutan terakhir sebagai tempat kunjungan kami selama sehari di sini, karena dipikir-pikir waktu akhir yang panjang itu enaknya ya untuk shopping. Tapi nyatanya.. sepertinya tidak untuk kali ini.

Mau tak mau akhirnya kami naik becak untuk dibawa ke toko-toko pernak-pernik atau apalah semacam itu, kata tukang becak yang sama tadi. Satu becak dihargai Rp. 5000,- selama perjalanan. Dan catatan;kemana saja terserah kita! Kalau boleh sih aku pengen dibawa ke planet saturnus sekalian, belanja cincin yang mengitari planet itu. Hah, konyol. Tapi aku pernah mendengar, upah yang kita kasih ke tukang becak itu nggak seberapa sama apa yang juga dibayar sama toko-toko yang kita kunjungi dengan becak tersebut. Jadi, kalau si tukang becak berhasil bawa kita ke banyak toko-toko atau outlet-outlet dan kita—para penumpang becak—juga membeli barang di toko tersebut, si tukang becak juga dapet keuntungan dari harga barang yang kita beli di toko itu.

Satu becak umumnya memang maksimal untuk dua orang saja. Tapi satu becak ini kami tunggangi untuk tiga pantat, aku, Nindi, dan Ochi. Karena diantara kami bertiga akulah yang punya badan lebih kecil dibanding Nindi dan Ochi, jadilah aku yang mendapat tempat duduk di paha mereka berdua.

“Ini pertama kita kemana pak?”tanya Nindi ke bapak tukang becak tetap dengan menghadap jalanan di depan yang sudah mulai padat merayap karena haripun sudah mulai petang.

“Mau kemana dulu terserah”mana kita tau Jogja ,bapaakk! Baru juga pernah masuk keraton waktu kelas tiga SMP.Gerutuku dalam hati.”dagadu po mba?”

“Yah.. yaudahlaah ,”jawab kami bertiga hampir berbarengan.

Sampai di sebuah toko salah satu penghasil kaos khas Jogja yaitu Dagadu, nyaris seisi toko adanya anak Paskibra dari Banjarnegara. Yeah, tujuan pertama—tapi bukan yang utama—saat kamu menaiki becak wisata di Jogja ini, Dagadu.

Waktu menunjukan pukul 17.55 waktu Indonesia bagian jam tanganku. Kata sang Instruktur kami sudah harus berkumpul lagi jam delapan malam. So, kami pun mencoba ekstra mengefisien waktu untuk berbelanja.

Selesai kami otak-atik itu toko Dagadu, kembali lagi dihadapkan tawaran “mau kemana” sama bapak tukang becak tadi. Hmpf.. okelah pak, batik, we’re coming !

Menyusuri jalanan Jogja disore hari dan dalam keadaan belum mandi(ssstt!!) membuat kami sangat menikmatinya. Suasana sejuknya sore dan gambaran langit yang sudah kecoklatan itu setidaknya sedikit menghapus rasa lelah dan kecewa kami yang ada sejak tadi.

Toko batik yang (katanya bapak tukang becak) harganya murah dan style anak muda itu sudah ada dihadapan kami bertiga. Hm.. begini yang namanya style anak muda sekarang? Tua. Rp 105.000,- itu yang dibilang ‘murah’ untuk satu potong baju batik, bahkan ukuran anak-anak? Mending beli di Banjar aja kalo gini. Finally, tak keluar sepersenpun uang kami untuk sehelai kain batikpun di toko itu. Makasih dah.

Nihil juga. Yah, sampai kami melewati jalanan besar lagi dan..

“Itu ada tas-tas, Nind!”spontan aku teriak melihat satu toko yang memajang tas-tas lucu di kiri jalan dan nyaris membuat bapak tukang becaknya pun ikut kaget dan ngerem mendadak. Nindi lagi pingin banget tas batik, dan kebetulan sekali mataku tak meleset melihat sebuah toko memampangkan banyak tas bermotifkan batik yang lucu-lucu. Tak lama Nindi pun sudah menemukan tambatan hatinya pada sebuah tas gendong bermotifkan batik coklat-hitam yang manis. Beruntungnya juga aku, disitu menemukan satu baju batik berwarna biru cerah yang .. hm! Cuma Rp 50.000,- saja! Hahay.. Lumayan Lah.

Waktu menunjukan pukul 19.18, ... ups !

***

Rasa kantuk yang menyergap seketika berubah menjadi panik yang cukup luar biasa saat becak kami melintasi jalanan sekitaran kraton—alun-alun. Suasana ramai memang sudah menyelimuti kami sejak saat sore tadi, tapi sungguh sangat berbeda ramainya dengan yang aku lihat sekarang. Jalanan padat merayap manusia, motor, mobil, penjual, pembeli, polisi pamong praja, tukang parkir, dan apalah semua yang ada disitu aku tak mengerti! Yang pasti hanya satu kalimat yang bisa keluar dari mulutku detik itu,”mati dah kita..”

“Nonton Jogja java carnivalnya itu enaknya disebelah mana ya pak?”tanya Nindi saat becak baru saja melaju meninggalkan toko yang terakhir kami kunjungi tadi.

“Ya, nanti saya carikan tempat yang enak buat mba-mbanya. Tapi ini sudah ramai sekali mba, jadinya kalau mau nonton yang enak ya paling seadanya saja. Gimana tho mba?”

“Yah, yang penting bisa nonton lah,”jawabku sekenanya. Ini uda malem, dan lebih parahnya ini juga malem minggu lagi. Sore aja uda rame, apalagi uda jam segini coba?

“Ini jalannya muter aja ya mba, lewat depan situ pasti sudah rame sekali soalnya.”ucap bapak tukang becak itu lagi. Dan membuatku berpikir, semoga saja kita nggak dibawa nyasar ..

“Iya laah, yang penting nyampe,”sahut Ochi yang kelihatan sudah sangat capai sekali.

Sial, feeling yang tak mengenakan ternyata bener! Kita bener-bener terjebak, kawan! Kami ternganga(betul-betul ternganga!) saat becak belok kiri (nggak tau arah mana, yang pasti belok kiri dari arah jalan belakang kraton ke alun-alun depan kraton. Nah lho, pusing kan.) dan ngerem mendadak melihat kenyataan di depan kami. Jalanan tertutup rapat-pat-pat! Perlu diperjelas? TERTUTUP RAPAT! Ya Tuhan ..

Seketika itu becak berhenti dan bapak tukang becak turun, serta dengan muka yang (kayak) memelas gitu siap membuka mulut untuk—aku rasa—mengatakan sesuatu yang sangat tak enak untuk kami saat ini.

“Haduh, gimana ini? Ditutup jalannya mba,”tanpa anda bilang saya juga uda tau pak! Tapi gimana nasib kami?!geramku dibatin,” kalau mba’e jalan sendiri saja ke parkiran gimana? Ke BInya. Dekat kok, mba-mba tinggal jalan lurus ini, terus belok kanan, ada bangjo belok kiri, terus bla bla bla bla bla ... ,”

“Gimana gimana pak? Turun, turun .. “sergah Nindi sembari menyuruh kami semua turun dari becak. Aduh please deh, ini Jogja. Dan kami kesini bukan untuk berpetualang. Beneran mau jadi anak ilang, jalan ke BI bertiga doang? Tanpa tau Jogja. Parahnya lagi ini lagi rame banget.

“Oh.. ngerti, ngerti,”kataku mencoba tenang setelah bapak tukang becak itu mencoba menjelaskan jalan kami pulang ke parkiran dengan begitu gamblangnya. Ini nggak seburuk yang kamu kira kok, Ta.”Ya udah, makasih pak ..”ku sodorkan uang gopek ke bapak tukang becak. Semoga jadi berkah pak, menunjuki kami jalan menuju pulang. Huhuhu ..

“Oke galz, kita cuma semalem ini doang kok jadi anak ilang di Jogja. Jangan panik, oke? Pegangan tangan semua, dan jangan sampai lepas.”dan positive thinking, batinku. Ini nggak bakal mengerikan kok. Ya Tuhan, yakinkan aku kalau semalam nggak mimpi buruk atau semacamnya. Jaga kami, tiga remaja putri dari Banjarnegara .. eh, Lebih! Kami bertiga, purna Paskibra Banjarnegara! Lindungi kami Ya Tuhan ..

Pertama, dengan segepok tas belanjaan ditangan kami masing-masing, kaki kami mulai menyusuri rumput alun-alun Jogja. Di tengah lapangan sana terpampang proyektor besar untuk menampilkan acara puncak Jogja Java Carnival yang ada di dalam tenda nan megah dibalik pohon beringin besar yang ada di tengah alun-alun. Tak kalah ramainya dengan manusia-manusia yang ada dijalanan tadi, disini rame banget pula. Pun dengan penjual-penjualnya, nggak mau ambil rugi.

Dengan langkah lunglai kami melewati puluhan orang yang mulai berkerubung padat dipinggir jalan. Dan.. kejutan apa lagi ini? Langkah kami terhenti didepan sebuah pembatas jalan(aku lebih suka menyebutnya teralis besi) yang menyedihkannya jalan itu adalah jalan kami menuju parkiran. Pingin nangis rasanya. Tapi ngadepin kayak gini harus bener-bener pake kepala dingin. Dan tetep cool, kalau Nindi bilang.

“Aaarrrghh .. gimana Tita ,Nind .. kita nggak bisa pulang ..,”rengek Ochi yang memang sudah sangat lesu ini. Kasihan dia.

“Uda, uda tenang aja dulu Chi .. positive thinking, positive thinking. Kita coba lewat depan kraton situ ya? Moga aja nggak ditutup juga,”jujur aku malah lebih mikirin temen-temen yang lainnya. Bagaimana dengan Nia dan Indah yang tadi waktu di toko terakhir kami kunjungi saja mereka masih sibuk memilah milah pernak-pernik lucu? Bagaimana dengan Alex yang emang sih gayanya sok gaul, tapi nyatanya lebih nggak tau Jogja ketimbang kami? Dan yang lain juga. Semoga baik-baik aja deh.

“Inget, kita juga punya banyak temen di Jogja kan, Ta? Sodara yang kuliah ato sekolah disini? Kita bisa minta tolong mereka kalo beneran kita nggak bisa pulang,”kata-kata Nindi ini membuatku bangun. Hey, dunia emang nggak selebar daun kelor. Tapi dunia kadang juga nggak seluas alun-alun ini kok. Aku masih punya—setidaknya—teman-teman kakakku disini. Nggak buruk-buruk amat kan?

Kembali kami jalan melewati alun-alun. Konyolnya aku, lagi suasana gini ngajakin Nindi sama Ochi buat foto-foto. Lantas, cara apa lagi untuk menghilangkan rasa penat jadi anak ilang selain update status di facebook? Hoho, ternyata cukup buat mereka tertawa kembali.

Saking lemes dan capeknya kami jalan, sampai hampir tak menyadari ada yang memanggil nama kami bertiga dari arah penjual bakso disebelah kiri kami. Tuhan memang penyelamat sejati dan pendengar doa hambanya yang sedang teraniyaya ditinggalin tukang becak di pinggir jalan! Haha. Syukurlah, kami bertemu lima orang teman kami dan dua instruktur yang ternyata bernasib sama dengan kami bertiga—nyasar dan nggak bisa balik ke parkiran. Hoho, setidaknya aku bisa sedikit lega bisa bertemu dengan mereka disini. Jadilah kami istirahat sejenak dan ditraktir bakso juga sama Pak Edi sang instruktur kami. Hihi, makasih pak.

Selesai menyantap bakso panas kami melanjutkan petualangan menuju parkiran kembali. Pikiranku tak meleset dengan ajakan Pak Edi ternyata, lewat depan keraton. Kali ini kami lebih santai menyusuri jalanan ketimbang tadi saat masih tiga kepala. Sekarang sudah ada sepuluh kepala, jadi aku merasa begitu terlindungi.

Saat kami melintasi jalan tengah alun-alun tepat didepan proyektor, sejenak kami berhenti untuk menonton acara Jogja Java Carnival yang baru saja dimulai. Sang raja Hamengkubuwono ke X memasuki tenda megah yang disulap menjadi tempat berlangsungnya acara besar ini. Huh, andaikan dia tau kami terpuruk disini tak bisa pulang karena hanya untuk merayakan hari jadi Kota yang ia pimpin ini, rasanya aku ingin teriak saja, tolong buka jalaannyaaaa ! =’(

Dadaku terasa sesak lagi saat tahu ternyata yang aku sebut teralis besi yang tadi menutupi jalan utara alun-alun itu mulanya dari depan keraton! Dan lebih bikin aku gemas, jalan ini untuk jalan keluar sang raja dan pasukan kirab nanti. Ugh!

“Wahh .. ditutup juga ki piye? Oh, apa lewat belakang keraton ni aja ya? muter, bisa tha ? Bisa yo ,”ucap tenang Pak Edi mengajak kami melewati jalan pintas yang ditunjukinya itu. Tak terlewatkan juga untuk menghilangkan rasa penat kami, foto-foto.

Pun di jalan pintas seperti ini, masih saja macet total. Kepanikanku tambah menjadi-jadi lagi. Tenang Tita, tenang. Kita bisa kembali dengan selamat. Sesial-sialnya kamu, kamu bakal lepas dari belenggu seperti ini setidaknya sampai acara ini selesai—dan itu jam 12 malam! Hah!

Tak sampai limabelas menit setelah itu kami sampai utara alun-alun, yang pasti berada diseberang jalan yang tertutup teralis besi itu tadi. Mencoba kami jejali lautan manusia yang mulai terlihat padatnya seperti air raksa yang dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Sedikit-sedikit lama lama jadi terlihat padatnya logam yang ada di dalamnya. Dan .. yah, matilah kami disini. Terjebak dalam keadaan berdiri ditengah-tengah manusia Jogja. Yang sialnya jalan menuju parkiran itu tinggal dikiitt lagi! Ya Tuhan, semoga Kau tak benar-benar membiarkan kami mati berdiri disini..

“Maju pak, ayo.. ,”teriakku Ke Pak Edi yang ada di posisi paling depan rombongan dari ‘makhluk makhluk Banjar yang kesasar buta peta Jogja’ ini. Yang pasti ini dipinggir jalan—trotoar—disebelah perko-perko apa itu tak jelas, arah menuju kawasan Malioboro. Sangat perlu aku tekankan, selain amat sangat ramai sekali, bahkan parkir motorpun sembarangan—disebelah tempatku berdiri ada satu sepeda motor dan sepeda othel dan itu sangat menyakitkan sekali saat aku dapat dorongan dari belakang, perutku terus saja menabrak stang motor—, kami pun tak dapat bergerak. Semua sesak, amat sangat sesak. Sampai aku tak sempat memikirkan nasib tas belanjaan yang aku bawa dan dimana letak tas selempang kecil yang aku pakai.

Seketika itu terdengar riuh orang bertepuk tangan. Barisan Paskibra pembawa bendera Merah Putih berjalan.. waww! Jadi ingat, denger-denger Paskibra banjar tahun kemaren ikut kirab hari jadi Banjarnegara, tapi angkatan kami tak tau nasibnya. Mereka terlihat begitu keren, jadi kangen pengin pake seragam Paskib lagi. Haha. Dibelakang pasukan Paskibra ada pasukan kirab yang aku tak tau apa itu namanya. Lagi-lagi untuk menghilangkan penat, tak tertinggal pula foto saat Paskibra tadi lewat. Hoho.

“Maju pak, emang nggak bisa dipaksa lagi?”aku mulai gusar, sudah hampir setengah jam kami berdiri seperti ini. Parahnya tak ada perubahan. Tetap seperti ini adanya. Ya ampun.. tolonglah, kami bisa ketinggalan bus kalo gini caranya. Belum lagi saat aku lihat muka Pak Edi yang sepertinya begitu frustasi menghadapi kenyataan ini. Hmpf..

Geram aku saat lihat sesosok polisi di depan salah satu perko didepanku. Tanpa basa basi dan jaim jaim lagi serta dengan PDnya aku memarahi Pak polisi itu,”Pak polisi ini gimana diatur dong! Jangan diem aja! Gimana sih, ahh,”weleehh, berani sangat saya ini memarahi Pak polisi Jogja? Haha. Didalam situasi begini memang ada aja yang nggak bisa jadi bisa bisa aja. Tak menyangka setelah aku tutup mulut memaki si Pak Polisi itu, orang-orang yang ada disekelilingku pun tak mau kalah juga ikut berdemo menuntut hak kebebasan mereka disini. Hoho. Tapi entah situasi atau memang polisinya aja yang bego, dia cuma clingukan nggak ngrespon apa-apa. Dasar.. terus ngapain Anda berdiri disitu, hah? Apa tugas Anda? Gerutuku dalam hati.

Sesekali walau satu-dua cm kami mendapat ruang kosong untuk mengambil langkah, berusaha maju kedepan demi meraih.. halah jann, kayak meraih mimpi aja bahasanya. Tapi sungguh, ini begitu tragisnya kalo boleh aku bilang. Bahkan Kiky, salah satu temanku yang berdiri di belakang Ochi sampai bisa bilang,”Kita bisa mati berdiri di sini! Fian uda sms mulu nih. Tanya kita lagi dimana, suruh cepet balik ke bus, dan bla bla bla. Ugh, ingin ku maki saja mereka nanti kalo kita uda nyampe di bus. Nggak tau aja lagi ribet banget gini,”

Nggak kalah sama Ochi, dia masih sempat sempatnya saja menerima telepon dari entah siapa. Yang pasti orang bus kami, karena Ochi bicara aja pake marah-marah dan mengeluh kalo kami lagi terjebak insiden hari jadi Kota Jogja sialan ini! “Iya, iya! Sabar dulu napah. Ini kita nggak bisa jalan!” Nah lho, aku sampai bisa memperkirakan apa yang sedang ditanyakan di dalam telepon itu. Seperti; kamu dimana sekarang?, Kenapa nggak balik-balik sih?, Cepetan dong! Kita uda mau jalan nih!, jam berapa sekarang?! Cepat kembali ke bus! Apa mau kami tinggal saja kalian di sini?. Buseeett dah kalo gini jadinya.”Ah, ini ngomong sama Tita aja deh!”gerutu Ochi untuk kesekian kalinya ditelepon itu. Kali ini dia menyerahkan handphonenya ke aku. Bakal aku jawab apa ini? Kayaknya ya sama-sama aja kayak yang dibilang Ochi tadi. Intinya kami tersesat, Pak instruktur.. Oke lah, itu tadi. Sekarang kami terjebak! Dan sama sekali tak bisa bergerak. Apakah Anda bisa membayangkannya? Ugh, aku mencoba menyimpan kata-kata makianku itu didalam hati saja. Ngomong aja apa adanya, Tita..

“Halo? ..iya ini lagi balik ke situ! ..apa?iya ini nggak bisa jalan.. nggak bisa gerak malah.. sabar-sabar! ..tungguin Lheh, tunggu.. ,”ribet banget sumpah. Coba kalo mereka semua ada di depanku sekarang! Ingin aku jitak satu-satu karena tak bisa mengerti apa yang kami mau, kami minta, kami alami sekarang. Aku dengar diseberang sana telepon berpindah tangan lagi, sepertinya orang satu bus uda dapet giliran ngomong deh.

“Heh, cepetan. Kita mau sampe jam berapa pulang ke Banjarnya?” ini suara Widhi. Dasar kampret.

“Ugh...! iya sabar, kita bentar lagi nyampe!”kumatikan sambungan. Uda kesel, nambahin kesel aja anak-anak ini!

“Siapa Ta?”tanya Nindi, tetap dengan gaya sok coolnya.

“Nggak tau. Yang pasti anak-anak. Yang ngomong banyak banget.”dan mereka sungguh sungguh bawel sekali, batinku. Huh.

“Aduh, jangan dorong-dorong dong woy!”sentak seorang cewek mungil berkerudung di depanku. Sepertinya mahasiswa Jogja. Sekilas aku berfikir, dikerumunan seperti ini kayaknya nggak bakal ada yang mikir kalo kami itu rombongan anak SMA. Haha.

“Ah, ini kapan mau selesenya.. Ngomong-ngomong kamu mau kemana?”jhiahk.. ini lagi. Ada seorang mahasiswi—menurutku, dan mungkin memang iya—cantik, modis, dia berdiri disebelah antara aku dan Nindi, dan bertanya pada kami seolah kami ini teman satu kampusnya.

“Kita mau ke BI,”jawab Nindi lagi-lagi sok cool.

“Oh, aduh, aku mau ke Bringharjdo situ nih. Pasti padet banget juga ya disana?”nggak mikirin deh, mba. Batinku agak kesal. Ada aja disaat-saat seperti ini orang jadi sok kenal.

Sempat sampai aku melamun dan hampir tak menyadari kalau jalan didepan sudah lumayan sedikit bisa dilewati. Bagus! Secepat kilat dan sekuat tenaga aku ikut dorong mendorong orang yang ada di depanku—Nindi—dan akhirnya setelah bersemangat tinggi ingin pulang, akhirnya kami dapat sedikit lega bisa menghirup udara bebas lagi. Jalanan masih ramai, tapi setidaknya kali ini kami tak terperangkap lagi dalam lautan manusia.

Masih dengan rasa harap harap cemas, kaki melangkah menuju halaman depan BI. Syukurlah, bus kami masih terparkir dengan memelasnya disitu. Melewati parkiran yang juga penuh dengan kendaraan bermotor itu—dan dengan sedikit berlari kecil—tiba tiba rengekan Ochi terdengar lagi.

“Aduh! Sakit.. !”astaganagabonarjadidua.. masih ada lagi kesialan di hari ini. Ditengah parkiran, kaki Ochi tiba tiba keseleo dan alhasil jadi susah buat jalan. Aku dan Nindi berusaha menuntunnya sampai ke pintu bus. Saking senengnya bisa kembali lagi, aku langsung memeluk Pak Khalim, salah satu instruktur Paskibra yang saat itu berada tepat di depan bus—dan sepertinya sedang setia menunggu ketiga anak asuhnya ini abis kesasar.

Pintu bus terbuka, dan.. suara suara dari kebun binatang—eh maksudku dari anak anak di dalam bus mulai terdengar begitu riuh menyambut kedatangan kami. Sumpah deh, malu banget. Tapi aku rasa nggak perlu malu, karena ini musibah. Tragedi. Kejadian. Dan nggak pernah kita duga sebelumnya kan?

Aku melengos begitu duduk di kursi. Tak henti-hentinya mengucap syukur karena sudah diselamatkan dari belenggu kesesakkan bersama makhluk makhluk aneh di malam minggu yang cerah ini. Dengan begitu ekspresionisnya aku ceritakan semua kejadian tadi ke teman-teman. Dan sungguh, aku tak merasa sesal dan seketika rasa capekku bisa hilang. Kalau nggak hari ini, nggak bakal bisa aku belajar untuk tenang kayak tadi. Kalau bukan di Jogja, mungkin aku nggak bakal punya cerita dan pengalaman sekonyol ini. Dan ini wisata yang tak akan pernah aku lupakan, karena ini begitu mengesankan..

Banjarnegara, 26 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar